Indonesia Tax Ratio


Mencermati opini dan perdebatan pasca debat presiden kemarin, daripada kita terlibat kedalam narasi yang tidak produktif alias nyinyir bin julid yang mirip fenomena ‘Echo Chamber’ (fenomena sosial dimana seseorang yang hanya mau menerima pendapat atau pikiran yang sejalan dengan mereka, sulit untuk menerima ‘different point of view’ dan teknologi big data analytic mengamplify fenomena sosial ini), lebih baik kita mencoba mengkaji perdebatan topik yang lebih substantif.
Salah satu topik atau wacana yang menarik untuk bisa diexplore lebih jauh muncul dari debat perdana kemarin adalah mengenai “Tax Ratio” atau rasio pajak, ini topik penting karena ini berkaitan dengan sumber penerimaan negara, top line revenue stream nya suatu negara yang digunakan untuk pembangunan, karena pajak memang masih menjadi nadi pembangunan yang memberikan kontribusi ~80% terhadap pendapatan negara kita (sisanya dari cukai dan PNBP).
Untuk memudahkan memahaminya kita mulai dari beberapa pertanyaan terlebih dahulu i.e definisi tax ratio atau rasio pajak.
Apakah itu Tax Ratio ?
Tax ratio atau rasio pajak adalah indikator yang menggambarkan penerimaan negara dari pajak terhadap total PDB nasional atau tax revenue as % of GDP (top line indicator). Silahkan kalo tertarik lebih lanjut bisa di googling.
Apakah rasio pajak (tax ratio) itu sama dengan tarif pajak ?
Tidak, ini dua indikator dan variable yang berbeda, tapi saling terkait satu sama lain. Untuk mendapatkan tax ratio yang tinggi bukan berarti secara linier tarif pajak harus tinggi juga. Tax ratio tinggi bisa didapatkan dengan tarif pajak yang rendah juga.
Apakah bisa meningkatkan tax ratio tetapi tidak dengan menaikkan tarif pajak?
Jawabannya bisa dan memungkinkan, usaha untuk menaikkan tax ratio tidak harus selalu linier dengan menaikkan tarif pajak individu ataupun korporasi, banyak cara kreatif lainnya yang bisa digunakan contohnya dengan menaikkan tax base atau yang dikenal dengan broad base low rate, yaitu perluasan basis pajak melalui tarif yang rendah. Saat ini tax base kita masih tergolong rendah juga, masih di level sekitar 32 juta dari total penduduk sekitar 265 juta, dan menurut beberapa kajian dan paparan dosen pembimbing saya di sekolah kebijakan publik pak Gita Wirjawan, former trade minister, potentially masih ada sekitar 60 juta basis pajak yang belum terjamah dr individu dan UMKM the untapped market (SGPP, 2017). Selain menaikkan tax base, bisa juga dilakukan memaksimalan kembali kebijakan tax amnesty untuk mendapatkan asset repatriasi dari luar (estimasi potensinya mencapai 11.000T), dan juga normal atau business as usual gradually dengan tax reform (perbaikan regulasi, proses bisnis, sistem administrasi, tata organisasi, dan SDM).
Jadi berapakah standard acuan tax ratio yang sebaiknya digunakan ?
Apabila kita mengacu kepada standar world bank rata-rata minimal di 15% (World Bank, 2016), apabila mengacu OECD negara2 maju average di 34% (OECD, 2014). Indonesia saat ini mengalami penurunan dari tahun ke tahun hingga ke level sekitar 10%, masih jauh dari standard tax ratio baik itu dari world bank ataupun OECD.
Dahulu kala ketika oil boom era sekitar tahun 80-90an, dimana Indonesia masih menjadi anggota OPEC dan pendapatan negara masih dominan dari sektor migas, kita tidak perlu terlalu mengandalkan pendapatan utama negara dari pajak, pembangunan sepenuhnya tidak perlu dibiayai oleh rakyat, sayangnya saat itu kita tidak bisa “memanfaatkan” momentum tersebut dengan maksimal seperti halnya norwegia dengan oil sovereign wealth fund nya dan strategi diversifikasi ketahanan renewable energy nya. Saat ini kita harus menghadapi realita dimana kita sudah menjadi net oil importing country, bukan lagi net oil exporting country seperti halnya di era kejayaan oil boom era 80-90an era, sehingga pendapatan negara sudah tidak bisa mengandalkan sektor migas lagi.
Jadi wacana meningkatkan tax ratio yang dikemukakan salah satu paslon tersebut sangat perlu dielaborasi dan ditindaklanjuti oleh siapapun pemenang pilpres 2019 ini, kita rakyat menantikan terobosan2 konsep, ide, dan eksekusi yang terbaik dari setiap pasangan untuk meningkatkan top line revenue stream untuk negara. Yang paling dibutuhkan adalah political will and goodwil yang kuat dari top leader or elite di negara kita.
“Tidak ada negara miskin di dunia ini, yang ada negara kaya yang salah kelola” (Tanri Abeng)
Donny M Siradj (various sources)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar